Jakarta - Pertanyaan yang sering muncul di masyarakat mengenai berapa sebenarnya subsidi yang diterima untuk setiap liter Pertalite akhirnya dijawab langsung oleh pemerintah. Melalui penjelasan resmi Kementerian ESDM, terungkap bahwa besaran subsidi per liter tersebut tidak tetap, tetapi berfluktuasi mengikuti kondisi pasar global dan nilai tukar rupiah. Namun, untuk mencapai harga jual Rp 10.000 per liter, angka subsidi yang dibutuhkan bisa sangat bervariasi, mulai dari ratusan hingga ribuan rupiah per liternya.
Mekanisme penghitungannya dimulai dari penetapan Harga Patokan (HP) untuk BBM jenis gasoline yang dihitung setiap bulan. HP ini diperoleh dari rata-rata harga MOPS ditambah biaya transportasi (freight), asuransi, dan margin. Kemudian, dari HP tersebut ditambahkan biaya distribusi, margin usaha Pertamina, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mendapatkan Harga Keekonomian. Nah, selisih antara Harga Keekonomian inilah dengan harga jual Rp 10.000 yang ditanggung pemerintah sebagai subsidi dan kompensasi.
Pada saat harga minyak dunia sedang tinggi, misalnya di atas 90 dolar AS per barel, dan rupiah melemah di atas Rp 15.000 per dolar, maka selisih harga yang harus disubsidi bisa melonjak signifikan. Menteri Arifin Tasrif mengakui bahwa dalam situasi ekstrem, beban subsidi bisa sangat memberatkan. "Kami terus memantau. Jika selisihnya terlalu lebar dan mengancam kesehatan APBN, tentu ada skenario-skenario yang harus dipersiapkan," ucapnya.
Besaran subsidi yang mencapai puluhan triliun bahkan ratusan triliun rupiah per tahun ini sejatinya adalah dana publik. Artinya, uang yang berasal dari pajak dan penerimaan negara lainnya dialokasikan untuk menutup selisih harga BBM. Inilah sebabnya banyak ekonom yang menyerukan agar subsidi harus tepat sasaran, sehingga manfaatnya lebih terasa bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang benar-benar membutuhkan.
Pemerintah sendiri telah berupaya melakukan penajaman targeting melalui program MyPertamina, dimana pembelian Pertalite untuk kendaraan plat hitam (non-public) dibatasi. Meski belum sempurna, langkah ini dianggap sebagai terobosan untuk mengurangi kebocoran subsidi ke kelompok yang tidak berhak. Evaluasi dan penyempurnaan sistem ini terus dilakukan secara berkelanjutan.
Transparansi data besaran subsidi ini juga diharapkan dapat mendorong perdebatan publik yang lebih sehat mengenai pilihan kebijakan energi nasional. Masyarakat diajak untuk memahami trade-off antara menjaga harga BBM murah dengan konsekuensi berkurangnya anggaran untuk pembangunan di sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Dari sisi sustainability, ketergantungan pada BBM bersubsidi jelas tidak dapat dipertahankan selamanya. Karena itu, langkah transisi energi dengan mendorong kendaraan listrik, memperbaiki transportasi massal, dan mengembangkan EBT adalah jalan utama yang harus dipercepat. Subsidi yang besar seharusnya dialihkan secara bertahap untuk mendorong transisi ini, bukan sekadar mempertahankan status quo.
Pengungkapan besaran subsidi per liter untuk Pertalite ini merupakan langkah menuju tata kelola energi yang lebih terbuka. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan muncul dukungan publik bagi kebijakan-kebijakan energi pemerintah yang lebih rasional dan berorientasi jangka panjang, baik dalam hal keadilan sosial, keberlanjutan fiskal, maupun ketahanan energi nasional.